Jumat, 14 Desember 2012

Apa Itu Tanaman Gaharu ?


 Gaharu merupakan sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan damar wangi (Dewan Standar Nasional Indonesia 1999). Sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu, gaharu memiliki nilai ekonomis tinggi dan dimanfaatkan sebagai obat-obatan, dupa, dan parfum (Barden et al. 2000). Di Indonesia, gaharu umumnya dipanen dari pohon Aquilaria malaccensis, A. microcarpa, A. filaria, dan Gyrinops verstegii (Rahayu 2010).

      Pembentukkan gaharu merupakan respon pertahanan pohon gaharu terhadap kerusakan mekanis atau infeksi cendawan. Respon pertahanan ini menghasilkan resin berupa senyawa terpenoid yang terakumulasi di sekitar bagian jaringan kayu yang mengalami kerusakan atau terinfeksi (Rahayu 2010). 

       Beberapa cendawan telah diisolasi dari pohon gaharu dan memiliki kemampuan menginduksi pembentukkan gaharu, seperti Acremonuim spp. dan Fusarium spp. (Putri 2007; Wulandari 2009; Rahayu 2010).        Selain cendawan, penelitian Putri (2007) menunjukkan penginduksian gaharu menggunakan bahan kimia (metil jasmonat) juga dapat menginduksi pembentukkan wangi gaharu. Penggunaan inokulan ganda (Acremonium sp. dan Fusarium sp.) dalam menginduksi gaharu juga menghasilkan tingkat wangi yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan inokulan tunggal (Wulandari 2009). 
   Pemanenan gaharu yang terbentuk secara alami menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian pohon gaharu. Gaharu yang berhasil dikumpulkan dari penebangan pohon penghasil gaharu tidak sebanding dengan jumlah pohon yang ditebang (Soehartono 2001). 
   Hal ini menimbulkan kekhawatiran menyusutnya ketersediaan pohon penghasil gaharu di alam. Sehingga, semenjak tahun 1994, pohon gaharu tercatat dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) redlist dan Apendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna or Flora) sebagai tanaman yang dilindungi (Soehartono 2000; Rahayu 2009). 
          Oleh karena itu, peningkatan budi daya pohon gaharu dan penyempurnaan teknik induksi gaharu buatan perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian pohon gaharu (Rahayu 2009).
         Pengembangan teknik induksi gaharu dapat dilakukan dengan mempelajari interaksi inang-patogen. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan menganalisis interaksi elisitor-fitoaleksin. Elisitor merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme patogen dan berperan menjadi molekul sinyal sistem pertahanan tubuh tanaman inang (Montesano 2003). 
        Senyawa ini dapat berupa produk suatu mikroorganisme atau bagian dari mikroorganisme itu sendiri. Pada tumbuhan tingkat tinggi, elisitor yang dihasilkan patogen akan dikenali oleh reseptor spesifik yang mengakibatkan akumulasi senyawa fitoaleksin. Interaksi elisitor-fitoaleksin menghasilkan suatu respon pertahanan tubuh tanaman inang yang disebut respon hipersensitif (Montesano 2003; Suzuki 1999). Respon ini hanya berkembang di sekitar daerah infeksi sehingga disebut sebagai respon lokal. 
       Pada tanaman, respon hipersensitif biasanya ditunjukkan berupa bercak nekrosis pada daun. Reaksi hipersensitif dapat menggambarkan interaksi antara ketahanan inang dengan virulensi patogen (Park 2005).
      Penelitian mengenai elisitor cendawan telah banyak dilakukan. Lisker dan Kuć (1977) telah membuktikan bahwa ekstrak dinding sel beberapa Oomycetes dapat merangsang akumulasi fitoaleksin pada potongan umbi tanaman kentang. Ortega dan Perez (2001) menyatakan bahwa konidia Alternaria alternata menyebabkan reaksi hipersensitif kotiledon jeruk (Citrus lemon). Takahashi et al. (2008) juga menyatakan bahwa elisitor asal dinding sel dapat menyebabkan kematian kultur sel padi.
           Elisitor dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu elisitor umum dan spesifik ras (Montesano et al. 2003). Beberapa tanaman seperti tembakau seringkali digunakan sebagai tanaman indikator reaksi hipersensitif. Penelitian Khayrunissa (1999) menunjukkan penggunaan elisitor filtrat kasar (EFK), elisitor dinding sel (EDS), dan elisitor sitoplasma (ES) Acremonium sp. menghasilkan gumpalan harum pada kalus A. crassna. 
       Pengujian lebih lanjut menunjukkan adanya beberapa senyawa gaharu, namun kadarnya lebih rendah dibandingkan pada gaharu alami.